20120131

(D18) Si Bocah Dengan Tas Selempang Postman

Mungkin ini bukan surat cinta,
tapi izinkan saya menceritakan tentang
bocah umur 15 tahun yang dulu
adalah orang asing buat saya.

Yang menjemput saya pulang sekolah
ketika mama saya terlalu sibuk
untuk menjemput saya tepat waktu.
Umur saya 10 tahun waktu itu.

Tahun 1997.

"Jalan kaki ga apa-apa?"
Saya mengangguk,
padahal saya rasa dia tau kalau sebenernya
saya lebih suka jalan kaki daripada naik mobil.

Terkadang,
ketika saya malas pulang,
saya akan mengiyakan ajakannya
untuk menemaninya bekerja,
tempat A Hok,
papan bunga.
Bocah yang awalnya bahkan namanya saya tidak tau.
Menyenangkan rasanya,
melihat dia bekerja
sementara saya dan istri A hok
akan memotong ujung-ujung tangkai bunga
yang terlalu panjang.

Saya suka bagaimana ketika harus
mengantar papan bunga,
jendela truk pick-up itu terbuka
dan angin memainkan rambut saya.
Saya dan istri A hok duduk didepan.
Bocah itu dan A Hok berdiri dibelakang
dengan helm di kepala.
Untuk keamanan,
dalih istri A Hok.

Saya suka mencuri-curi pandang
melalui jendela tengah,
menatap bocah itu tertawa ketika bercanda.
Kagum?
Mungkin.
Umur 10 harusnya belum mengenal cinta.

Sesekali saya dan bocah itu
akan menggabungkan uang jajan kami.
Dia, Rp.25.000/minggu
dan saya,
Rp. 800/2 hari,
dan dengan sepedanya
kita akan berkeliling Medan raya
dan mutar-mutar kemana saja.
Sesekali berhenti untuk jajan,
rumusan wajibnya.
Kalau sisa uangnya masih banyak,
dia akan menawari beli ice cream Tip Top favorit saya.
"Buat kamu", katanya.
"Separoan", jawab saya,
dan kita makan berdua.

Apa yang membuat saya tertawa,
seakan-akan membuat dia bahagia.
Tidak pernah ada tempat yang terlalu jauh
untuk dia kayuh.
"Bisa tidak? Terlalu jauh?"
"Bisa!",
dan dia akan tersenyum lebar dan optimis,
seakan lupa dia harus menyimpan tenaga
untuk latihan basketnya.

Itu sehari-harinya.
Dan ketika sore menjelang,
dia akan mengantarkan saya les bahasa Inggris
sebelum dia latihan basket.

Dalam kelas,
sementara guru menjelaskan
saya selalu duduk tak tenang menunggu jam 6,
melihat si bocah dan sepedanya menunggu,
"Kemana kita sekarang?".

Hal-hal sederhana dengannya terasa begitu menarik,
mulai yang dari bermain TTS berdua,
atau membaca ensiklopedia tentang margasatwa.
Kalo saya minta,
dia akan mengayuhkan sepedanya membonceng saya
membeli Ba Pao tausa merk Kacamata.
Di jalan Selat Panjang,
entah apakah sekarang masih ada.

Sesuka-sukanya saya dengan malam,
bersamanya selalu tersimpan harap
malam tidak datang terlalu cepat.
Malam adalah dikala dia akan mengantar saya pulang,
dan dengan malu-malu bertanya pada saya,
"Mau dibonceng duduk depan?",
saya mengangguk pelan.
Tau kan,
di besi panjang bagian depan itu.

Dalam diam,
sesekali bahu saya akan bersentuhan dengan bahunya,
dan kita akan saling menatap dan tertawa
lalu kembali diam dengan wajah memerah.
Begitu lugunya kita.

Sampai didepan rumah,
saya tidak akan mengucapkan terima kasih
tapi sedikit jinjit dan menyentuh pipinya.
Tangan kanan.
Pipi kiri.
Sekali.
Itu cara saya berterima kasih tanpa bicara.

Oke..,
mungkin lebih ke cara saya
bilang sayang tanpa bicara.
Sementara dia akan menaruh tangannya
diatas kepala saya, tersenyum dan berkata,
"Jangan malam-malam tidurnya, pesek.."
"Iya jelek...",

tanpa dia tau semalaman saya tidak bisa tidur
karena ada dia di kepala saya.
Bocah 15 tahun
dengan tas selempang postman kebanggaannya.
Cinta monyet?
Mungkin. :)

No comments:

Post a Comment